Minggu, 15 Januari 2017

Cinta Tak Tersampai

0

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun  menikahinya, aku tidak pernah benar benar menyerahkan hatiku kepadanya. Menikah karena paksaan orang tua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Cinta Tak Tersampai
Cinta Tak Tersampai
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku padanya. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.

Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya, tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orang tua aku sangat menyangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tidak pernah benar benar menjalani tugasku sebagai seorang istri.

Aku selalu bergantunng padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Dirumah kami, akulah ratunya. Tidak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tidak suka handukya yang basah yang diletakkan di tempat tidur.

Aku sebal melihat suamiku meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika dia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaanya.

Aku marah kalau suamiku menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau dia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau dia menghubungiku hingga berkali kali ketika aku sedang bersenang senang dengan teman temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber KB dengan pil. Tapi rupanya dia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun dia tahu, dia membiarkannya.

Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar kepadanya. Kemarahanku semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan aku harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi.

Dengan patuh dia melakukan semua keinginanku karena kau mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak anak tidak terasa berulang tahun yang ke delapan.Seperti pagi pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir.

Suamiku dan anak anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak anak ke sekolah. Hari itu, suamiku mengingatkan kalau hari itu adalah hari ualng tahun ibuku.

Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa memperdulikan kata katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibuku. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orang tuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak anak. Tetapi hari itu, dia juga memelukku sehingga anak anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya aku ikut tersenyum bersama anak anak.

Dia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku. Beberapa jam kemudian di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak aku sukai.

Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktu aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku ketinggalan dirumah.

Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tidak juga menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat ingat apa yang terjadi hingga dompetku tidak bisa aku temukan. Aku menelepon suamiku dan bertanya kepadanya.

''Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tidak punya uang kecil, maka aku ambil dari dompetmu. Aku lupa meletakkannya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.'' kata suaminya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphone ku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. ''APALAGI ?"

''Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarkannya padamu. Sayang sekarang ada dimana ?'' tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Akupun menyebutkan nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku langsung menutup teleponnya.

Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si punya salon yang sahabatku sebenarnya sudah memperbolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.

Tapi rasa malu karena ''Musuh''ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun sangat deras ketika aku melihat keluar salon dan berharap mobil suamiku segera datang. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga akupun mulai menghubungi handphone suamiku. Tidak ada jawaban walaupun aku sudah menelponnya berkali kali.

Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah langsung diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan mulai marah kepadanya. Teleponku akhirnya diangkat setelah aku sudah beberapa kali menelponnya.

Ketika suara bentakanku belum lagi aku keluarkan, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Akupun terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan dirinya.

''Selamat siang, Ibu.''
''Apakah ibu istri dari bapak Armandi.''

Kujawab pertanyaan itu segera. Orang asing itupun memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini suamiku sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih.

Ketika telepon kututup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucar seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu tahu seluruh keluargaku ada di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku didepan ruang gawat darurat.

Aku tidak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepatnya kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu.

Suamiku telah tiada. Dia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orang tuaku dan orang tuanya yang shock.

Sama sekali tidak ada sedikitpun air mataku menetes dari kedua mataku. Aku sibuk menengankan ayah ibu dan mertuaku. Anak anak yang terpukul memelukku dengan erat. Tetapi, kesedihan mereka sama sekali tidak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah nya dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termenung menatap wajah suamiku. Kusadar baru kali ini aku benar benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.

Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah suamiku berikan kepadaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesap berusaha mengusap agar airmata tidak menghalangi tatapan terakhirku padanya. Aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tidak berakhir begitu saja.

Tapi bukannya berhenti, air mataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tidak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tidak pernah mengatur makannya. Padahal dia selalu mengatur yang kumakan. Suamiku juga memperhatikan vitamin dan obat yang harus aku konsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan.

Suamiku tidak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tidak pernah tahu apa yang suamiku makan karena aku tidak pernah bertanya. Bahkan akupun tidak tahu apa yang suamiku sukai dan tidak disukainya.

Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu suamiku mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tidak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak anak dan diriku sendiri.

Aku tidak perduli kepada suamiku sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Suamiku bisa makan masakanku kalau hanya bersisa. Suamiku pun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor ke rumah cukup jauh.

Aku tidak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat dengan kantornya. Karena, aku tidak mau jauh jauh dari tempat tinggal teman temanku. Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Akupun pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersama onggokan tanah yang menimbun.

Aku tidak tahu apapun, sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia sia karena mereka tidak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini aku harapkan. Malah, aku terjebak di dalam keinginanku untuk bersamanya. Di hari hari awal kepergiannya, aku duduk termenung memandangi piring kosong. Ayah,Ibu dan Ibu mertuaku membujukku makan.

Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap suamiku yang datang.

Kebiasaanku yang menelponnya setiap kali aku tidak bisa melakuka sesuatu dirumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab telponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap besok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya. Tapi, sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengar dengkurannya kembali. Dulu aku kesal karena suamiku sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.

Dulu aku begitu kesal jika suamiku melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me log out nya, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts tutsnya berharap bekas jari jarinya masih tertinggal disana.

Dulu aku paling tidak suka suamiku membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnya pun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa di sembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote.

Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa suamiku mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun suamiku sudah tidak ada.

Aku marah karena baju bajunya masih disana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tidak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tidak ada lagi yang membujukku agar tenang, tidak ada lagi yang mengingatkanku sholat, meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku shoalt karena aku ingin meminta maaf.

Meminta maaf kepada allah karena aku sudah menyia nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suamiku yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak anak.

Teman teman yang selama ini kubela belain, hampir tidak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku.

Selama ini aku tahu beres dan tidak pernah bekerja. Semua dilakukan oleh suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tidak pernah perduli, yang kuperdulikan hanya jumlah rupiah yang suamiku transfer ke rekeningku yang kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tidak pernah bersisa.

Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tidak menyangka, ternyata seluruh gajinya di transfer semua ke rekeningku selama ini. Padahal aku tidak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga.

Entah darimana suamiku memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tidak pernah bertanya sekalipun soal itu. Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak anakku tidak bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya tidak akan cukup untuk menghidupi kami bertiga.

Tapi bekerja dimana ? Aku hampir tidak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh suamiku. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Notaris tersebut membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat.

Surat pernyataan suami bahwa suamiku mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak anak, suamiku juga menyertai ibunya dalam surat tersebut. Tapi yang membuatku tidak mampu berkata apapun adalah isi dari suratnya untukku.


''Istriku Liliana tersayang,''
  ''Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tidak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
  Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tidak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti.
  Aku tidak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tidak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
 Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi mimpi yang tidak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
 Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tidak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti ibu dan Farhan pelindungku. jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!.''





Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau dia mengirimkan note.

Notaris memberikan bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu  mengetahui betapa besar cintanya kepada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya suamiku tetap membanjiri kami dengan cintanya.

Aku tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tidak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak anakku. Ketika orang tuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selama lamanya, tidak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia dua puluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, ''Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan tidak bisa masak, tidak bisa nyuci, gimana ya bu ?''

Aku merangkulnya sambil berkata ''Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang dia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena Cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.''

Putriku menatapku, ''seperti cinta ibu untuk ayah ? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setiap pada ayah sampai sekarang ?'' Aku menggeleng, ''bukan sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.''

Aku mungkin tidak beruntung karena tidak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tidak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net